10.12.10

pola ubin stasiun kereta Ambarawa

ambarawa treinstation - sepurweg
pic belong to plmwalta's gallery-picasaweb

pic belong to : mahandisyoanata.multiply.com
 pola ubin ambarawa trein station
pic belong to : mahandisyoanata.multiply.com

Cerita selengkapnya tentang Stasiun Ambarawa silakan
kunjungi situs : www.mahandisyoanata.multiply.com

4.11.10

sillhuet Hagia Sopia

                                                    
Taken by : Obenik@ deviantart.com
Devices  : LEICA

15.9.10

Denting Piano di Stasiun Tawang

Penumpang Kereta api yang singgah di statsiun tawang- Semarang pasti tidak asing dengan Denting piano, yang memainkan ”Empat Penari” itu, di telinga awam sebenarnya terdengar kaku, dengan tempo lambat. Namun mungkin karena diperdengarkan berulang kali, akhirnya menimbulkan kesan yang mendalam.

Sedalam itu pula kesan yang dapat ditimbulkan bila Anda nongkrong di tepi Polder Tawang memandang ke utara ke bangunan Stasiun Tawang. Terlebih, stasiun ini tampil anggun dengan atap kubah tinggi sebagai titik pandang (point of view). 


Jangan hanya memandangi kubah dari luar. Dari dalam bangunan stasiun, saat menengadah, Anda bakal melihat langit- langit persegi dengan pencahayaan sangat memukau. Sementara ornamen paling menonjol di stasiun ini adalah pintu-pintu utama serta jendela ventilasi atas yang berbentuk lengkung dan dipertegas oleh bingkai pasangan batu bata di tepi atasnya.

Diarsiteki oleh Sloth Blauwboer dan dibangun atas pesanan perusahaan kereta Netherland Indische Spoorweg (NIS), Tawang memang dibangun dengan sangat serius berlanggamkan Romantisisme—yang waktu itu sedang ngetop di Eropa.

Mengapa romantisisme? Sebab, pada tahun-tahun itu, tepatnya Juni 1914, Tawang dipersiapkan sebagai monumen untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol (Tentoonstelling).

Merayakan kemerdekaan di tanah jajahan dengan mendirikan stasiun megah. Itulah ironi Hindia Belanda. Meski begitu, kita patut bersyukur saat ini karena stasiun ini menjadi tempat berkumandangnya ”Empat Penari” puluhan kali dalam sehari. Toh, Republik ini bahkan tak mampu untuk membangun stasiun baru di tempat lain semonumental Tawang.

Bila Anda tidak terburu-buru mengejar kereta api, disarankan untuk berkeliling dahulu menikmati bangunan peninggalan zaman kolonial di Kota Semarang. Ada Gereja Blenduk yang didirikan tahun 1753, Gedung Marba (dulunya bernama Gedung De Heeren Straat), dan Gedung Jiwasraya, yang dirancang oleh Thomas Karsten, arsitek Stasiun Solo Balapan.

Jika tidak ingin pergi terlalu jauh dari stasiun, ya itu tadi, Anda dapat menikmati indahnya bangunan kuno di pinggir Polder Tawang.

Bila senja dan malam tiba, bangunan-bangunan tua itu berefleksi dengan indahnya di muka air polder, yang berfungsi mengendalikan banjir Semarang.

Dan ketika ”Empat Penari” mulai mengalun, bergegaslah masuk ke stasiun. Mungkin giliran kereta Anda yang siap berangkat.( HERPIN DEWANTO-travelkompas.com)

16.7.10

OUD BATAVIA ; By David Achmad





David achmad, pemilik blog www.ligadewi.multiply.com, www.fotodaridavid.blogspot.com  punya sentuhan di setiap fotonya .

Lawang Sewu Disiapkan Jadi Galeri Industri Kreatif

Rabu, 07 Juli 2010, 20:49 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG--PT Kereta Api (KA) selaku pemilik bangunan Lawang Sewu saat ini sedang merenovasi bangunan bersejarah ini untuk disiapkan menjadi galeri industri kreatif di Kota Semarang. Kepala Humas PT KAI daerah operasi (DAOP) IV Semarang, Sapto Hartoyo, Rabu, mengatakan, renovasi yang dilakukan pada bangunan Gedung A dan C diperkirakan memakan waktu sembilan bulan sejak awal pelaksanaan renovasi pada 1 Juni 2010.

Ia menambahkan, renovasi dikoordinasi langsung oleh Pusat Pelestarian Benda Bersejarah (PPBB) yang berada di bawah kendali "Executive Vice President" PT KA dengan anggaran sebesar Rp3,9 miliar. "Melestarikan Lawang Sewu dimaknai sebagai cara melindungi cagar budaya ini tanpa menghilangkan nilai-nilai sejarah dan budaya di dalamnya," ujar Sapto.

Salah seorang staf PPBB PT KA yang mengelola Lawang Sewu, Ratri Septina Saraswati, mengatakan renovasi Lawang Sewu dilakukan dalam tiga tahap dan diawali dengan lelang jasa kontraktor. Tahap pertama adalah renovasi gedung, tahap kedua adalah menyusun lanskap, dan penyelesaian terakhir pada segi teknis listrik dan mekanik.

Namun, menurut Ratri, waktu sembilan bulan yang ditargetkan PT KA hanya dapat digunakan untuk penyelesaian tahap pertama. "Tahap ini mencakup pengerjaan dinding, lantai, anak tangga, plafon, pintu, dan jendela hingga pengecatan gedung," katanya.

Ia menambahkan, pengerjaan dinding menjadi konsentrasi utama karena dinding gedung sudah mulai keropos termakan usia. Material bangunan yang digunakan untuk merenovasi Lawang Sewu pun secara khusus dibuat sama dengan material aslinya dahulu, yakni berupa campuran bata merah, pasir, dan kapur. Hal ini bertujuan agar gedung tersebut semakin kokoh seperti pertama kali dibangun pada 1904.

Sapto menambahkan, secara jangka panjang Lawang Sewu akan dijadikan sebagai pusat eksibisi industri kreatif di Semarang. Pihaknya pun telah melakukan kerja sama dengan Departemen Perdagangan untuk pengelolaannya. "Pengembangan industri kreatif perlu tempat yang memadai. Hal ini pun menjadi berkesinambungan dengan rencana renovasi cagar budaya seperti Lawang Sewu." ujarnya.

Upaya untuk melenyapkan kesan magis dan angker di dalam bangunan Lawang Sewu selama ini sudah dilakukan, misalnya dengan menggelar berbagai kegiatan bisnis dan budaya di bangunan ini. Di zaman Orde Baru, Lawang Sewu pernah akan disulap menjadi hotel berbintang, namun mendapat protes luas kalangan masyarakat, sejarawan, dan budayawan.
============================
seperti yang pernah diulas di Blog lain beberapa waktu lalu tentang rencana Renovasi Lawang Sewu - 
Upaya rehabilitasi bangunan yang berdasarkan konservasi bangunan kuno hendaknya selalu memperhatikan detil bangunan, dalam hal ini informasi yang kami dapatkan bahwa kontraktor pemugaran Lawang sewu memakai tenaga ahli konservasi bangunan dari Belanda.
mari kita tunggu hasilnya seperti apakah....


Bangunan kuna di Eropah yang masih dipertahankan keutuhannya

23.6.10

Pasar Johar- karya Thomas karsten yang jadi rebutan Kepentingan

SM-23 Juni 2010


■Prof Eko Tolak Ide Sukawi

SEMARANG - Wali Kota Sukawi Sutarip mengusulkan untuk menjaga bangunan asli Pasar Johar, tidak lagi dijadikan tempat jual-beli lazimnya sekarang ini. Bangunan karya Thomas Karsten itu bisa dijadikan pusat ekshibisi atau tempat pameran yang berkelas.
’’Ini baru sebatas ide saja. Kalau ada pemikiran lain, silakan. Ide ini untuk menjaga keaslian Pasar Johar. Pedagang pindah ke bangunan yang baru,’’ kata dia usai membuka kegiatan paparan enam nominator desain Pasar Johar di Patra Convention Hotel, Selasa (22/6).
Menurut Sukawi, menjadikan Johar sebagai pusat ekshibisi supaya bangunan tersebut tidak rusak. Karena mulai dari lantai sampai ornamennya kebanyakan masih asli. Supaya tidak rusak, tentunya harus dikosongkan. Hanya saja ide ini perlu kajian lagi, terutama dari sisi pedagangnya.
Secara keseluruhan konsep Johar sudah saatnya ditata lagi, terutama mengembalikan keberadaan alun-alun yang sekarang ini berubah menjadi kawasan Yaik Baru. Terlebih konsep penataan supaya Johar menjadikan pasar yang nyaman, aman dan bersih.
Dia menyerahkan sepenuhnya desain pasar kepada dewan juri dalam memberikan penilaian. Bila terpilih desain yang layak digunakan untuk revitalisasi Pasar Johar, tugas pemkot adalah mencari investor yang bisa mendanai pembangunannya.
Kemarin, karya enam nominator dipamerkan di Ruang Poncowati, sekaligus pula mereka memaparkan konsep gambar itu kepada sembilan dewan juri yang diketuai Prof Eko Budihardjo MSc. Keenam nominator itu adalah Realrich Sjarief (Jakarta), MA Wiwik Purwanti (Yogyakarta), Yuli Roesyanto (Semarang), Bambang Murtiyoso (Semarang), Sudarmawan (Semarang), Kukuh Andi Siswono (Bandung).
Ada Pedagang Desain secara umum, berkiblat pada konsep pasar modern. Ada hotel, cafe, restoran, pertokoan sampai perdagangan. Bahkan untuk hotel, ada yang mendesain 140 kamar, 400 kamar dengan tinggi rata-rata 10 lantai, sesuai ketentuannya.
Bagi Prof Eko, konsep desain siapapun tidak ada batasan. Sepanjang bisa mempertahankan keberadaan pedagang, baik jumlah maupun macam komoditasnya. Karena itu, ia tidak sependapat atas ide wali kota untuk menjadikan bangunan konservasi menjadi pusat ekshibisi. ’’Bagaimanapun pasar itu ada orangnya yang sudah menetap berjualan puluhan tahun. Lebih baik bangunan induknya ditata, dirapikan, dibuat supaya nyaman,’’ katanya.
Kepala Dinas Pasar, Ednawan Haryono menjelaskan, desain yang terpilih nanti selanjutnya akan dibuatkan detail enginering desaign (DED). Sebelumnya untuk Johar sudah diterbitkan Keterangan Rencana Kota (KRK) dan IMB serta FS. ’’Setelah DED selesai, kami tinggal cari investor. Dana pembangunannya lebih kurang Rp 600 miliar. Dana itu, apakah ditanggung sepenuhnya investor atau sharing dengan pemkot,’’ katanya. ( Red. suara merdeka )

Yang Ironis - bahkan walikota lama Semarang  yang punya ide untuk merevitalisasi pasar Johar Semarang -  sebagai M.I.C.E  tidak sejalan dengan wacana Gubernur BIBIT W. yang bermaksud melakukan kalibrasi ulang atas status Lahan Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan JATENG ( PRPP ) yang tidak jelas.

Yang paling mantap justru  imajinasi  dari "jenius-2" di bloggosphere yang mampu menggambarkan masa depan pasar johar.

Narasi MASMPEP tentang Semarang dan kota lama

Seharusnya Semarang dapat menjadi kota wisata yang mbetahi lan ngangeni. Namun hiruk pikuk kota ini telah membuatnya menjadi kota yang bergegas. Tak ada ruang untuk berleha-leha, apalagi ramah pada model backpacker infantri seperti saya. Sayang memang, namun saya tetap berusaha menikmati yang baik-baik dari Semarang.
Saya memang belum pernah tinggal di Semarang—setidaknya menurut kategori administrasi kependudukan: berturut-turut selama enam bulan. Saya hanya beberapa kali singgah di kota ini. Menginap satu atau dua malam karena ada agenda tertentu. Praktis saya hanya berkesempatan mengelilingi kota dalam jangkauan angkutan umum dan bilangan jam saja.
Tidak ada Semarang tanpa Kota Lama. Saya tidak tahu pasti apakah Semarang periode kolonial bermula dari kawasan ini—seperti halnya Kota Lama Jakarta di Sunda Kelapa. Namun tesis saya boleh jadi benar, karena Kota Lama Semarang berada dalam yurisdiksi Pelabuhan Tanjung Emas. Sebagai kawasan perdagangan dahulu Kota Lama dilindungi oleh benteng yang dikenal sebaga Bentek Vijhoek dengan poros Gereja Blenduk (Nederlandsch Indische Kerk) dengan kubahnya yang khas dan kantor-kantor pemerintahan. Penguasa kolonial kala itu terhitung sebagai pemeluk Protestan yang taat. Tak heran bila mereka menjadikan gereja sebagai makrokosmos kehidupannya.Kota Lama juga disebut Outstadt atau Little Netherland, satu ungkapan yang menggambarkan suasana tropis namun direkonstruksi layaknya negeri kincir angin di Nederland sana, berbeda tipis dengan Kota Lama Jakarta yang disebut Little Amsterdam.
Satu sore yang manis saya pernah berkeliling dengan becak bersama istri (baru) saya di kawasan ini. Kami menyusuri jalan yang tersusun rapi dari paving block. Melintasi Stasiun Tawang, kemudian tak jauh dari situ memutari Polder Tawang. Satu kolam besar yang diangankan mampu menampung limpasan rob dari kawasan seputar stasiun. Polder Tawang berisi air penuh. Keperakan ditimpa matari senja. Pak becak masih mengayuh pedalnya saat saya menikmati barisan gedung-gedung tua, sebagian bercat putih meski di sana sini dihiasi lumut.

Saya tak dapat mengingat satu persatu gedung-gedung bergaya kolonial—yang katanya art deco atau barok (baroque atau barroco dalam lafal Portugis), entah art nouveau. Namun saya dapat menduga bila gedung-gedung yang diyakini ultramodern pada dasawarsa 1920an—sehingga disebut art deco—atau bercorak arsitektural yang detail—sehingga disebut barok—itu adalah bangunan bermacam-macam maskapai dagang. Kalau ada arsitek yang paling bertanggungjawab atas wajah Kota Lama hari ini bolehlah kita menyebut Thomas Karsten. Meneer satu inilah yang antara lain mendesain Pasar Johar, serta bekas Gedung Stoomvart Maatscharpij Nederland yang kini digunakan P.T. Djakarta Llyod yang bergerak di bidang jasa pengangkutan laut.

Becak berbelok. Menyusuri Jalan Letnan Jenderal Suprapto. Kami rehat sejenak di taman kota kecil, persis di depan Gereja Blenduk. Memandangi burung-burung yang berterbangan, sebelum kemudian memesan Sate Kambing 29 di samping gereja. Sate Kambing 29 yang banyak diliput dalam artikel dan acara wisata kuliner di media ini menyediakan rupa-rupa sate: sate buntel, sate kambing, dan gulai sumsum (kambing) dengan harga yang mahal menurut saya—maklum, backpacker infantri-kapiran. Namun saya berhasil meyakinkan istri (baru) saya bahwa Sate Kambing 29 ini legendaris, dimuat berkali-kali di Kompas, Pak Bondan Winarno tak ragu mengucapkan mak nyus dalam acaranya Wisata Kuliner, dan resto ini bernilai sejarah, budaya, bla-bla saya mengoceh hingga pesanan datang dan istri saya termakan oleh hasutan saya dan lapar yang menohok lambungnya.

Selepas Jalan Suprapto becak kami melintasi Jembatan Berok (dari kata brug yang berarti jembatan (Bld)), melintasi satu kawasan plasa yang lebar hingga ke Pasar Johar. Tak banyak yang menarik dari pasar ini kecuali polemiknya di media massa. Kekayaan arsitekturalnya diinterupsi pedagang yang menggelar dagangan secara seronok. Walhasil tak ada makna apa-apa lagi dari pasar ini kecuali dulu, dulu, bahwa pasar ini adalah salah satu pasar modern pertama di Semarang. Satu pasar yang didesain oleh Thomas Karsten. Satu pasar yang sezaman dengan Pasar Gedhe Harjonagoro di Solo, namun bedanya yang satu masih gagah berdiri yang satu mulai kisut di gilas zaman. Ah, tak baik menyesali sejarah bukan.

Di Pasar Johar kami kembali rehat, sembari membeli wingko babad. Sebenarnya kami ingin melanjutkan berburu bandeng presto di Jalan Pandanaran yang resmi menjadi pusat perkulakan olahan bandeng sejak tahun 2001 atau meluncur ke Jalan Mataram untuk mencicipi loenpia (lumpia menurut lidah Semarang yang keblanda-blandaan kecina-cinaan (semula saya mengira loenpia berasal dari tradisi kuliner kolonial semacam rijstaffel, ternyata loenpia berakar dari khazanah kuliner China, setelah saya menonton Kamus Kuliner yang dipandu Prof (ris). Hermawan Sulistyo, idola saya dalam kajian mengenai Gerakan Mahasiswan yang kini nyambi jadi prsenter acara kuliner–mpep)) yang mengaku ‘asli dekat (Toko) Roti Sanitas’ semua. Mengingatkan saya dengan sentra Getuk Goreng Sokaraja Purwokerto yang mengaku titisan trah Haji Sanpirngad melalui garis Haji Tohirin sejak 1922 1918. Atau pusat kuliner sate kambing di bilangan Tirus Tegal yang mengaku cabang dari Haji Sakya.

Namun rencana itu tidak taktis. Pusat wisata Semarang tersebar, dengan satu jarak yang tak mungkin ditempuh secara infantri. Bahkan Kota Lama yang eksotik tak nyaman dinikmati dengan berjalan kaki—seperti di Malioboro Jogja atau paling kurang Jalan Slamet Riyadi Solo. Pedestrian cukup lebar, namun tak ada sebijipun pohon ditanam di kiri-kanan jalan. Maklumlah, gedung-gedung maskapai tua itu bahkan tak memiliki halaman, tembok depan gedung sekaligus menjadi pagar pembatas dengan jalan raya.



Saya berinisiatif menumpang bus kota menuju Kawasan Simpang Lima. Istirahat di Masjid Baiturrahman Simpang Lima sambil menikmati renik-renik peradaban modern di sela-sela pusat perbelanjaan yang mengepung Simpang Lima. Simpang Lima menjadi kawasan yang kompak menurut perspektif ekonomi, namun tak taktis menurut kacamata wisatawan. Ingin ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang belakangan mulai sohor karena payung elektriknya seperti pada masjid-masjid di tanah suci, harus berkali-kali ganti bus kota dan angkot. Ingin ke Jalan Pandanaran harus mbecak. Ingin ke Jalan Mataram, lebih repot lagi. Mau ke Kota Lama juga harus berkendaraan. Apalagi bila ingin menjajal Lawang Sewu.



Bila tak ingin kemana-mana, menepi saja di trotoar. Mencicipi Tahu Gimbal. Tahu ini eksotik. Satu porsi sepiring penuh hingga nyaris tumpah. Yang menggugah rasa apalagi kalau bakwan udang yang dipajang secara demonstratif tersusun rapi di gerobak. Bersama segelas es teh, dan berjilid-jilid lagu namun sepenggal-sepenggal bait dari pengamen. Bagi anda yang merindukan ‘suasana hangat kaki lima’, di kaki lima Simpang Lima salah satu tempat yang layak menjadi referensi anda.



Tak ke Semarang kalau tak mampir ke Lawang Sewu. Ya. Ya. Gedung milik Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) ini dibangun pada tahun 1903 dan selesai pada tahun 1907. Posisinya persis di seberang bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelmina Plein. Di Bundaran ini pula Pertempuran Lima Hari di Semarang meletus, sejak 14 Oktober-19 Oktober 1945. Lawang Sewu disebut demikian karena dianggap berpintu seribu. Meskipun jumlah pintunya tak sebanyak itu, dan yang dikira pintu oleh banyak orang sebenarnya adalah jendela yang tinggi dan lebar. Lawang Sewu memiliki dua menara kembar di muka yang secara arsitektural menarik, serta secara praktis dimanfaatkan sebagai tangki air.



Saya belum pernah menjejak kaki di Lawang Sewu. Saya justru berminat menikmati Museum Mandala Bhakti yang memajang meriam arteleri di sisi Tugu Muda yang lain. Atau menikmati arsitektur Gereja Katedral Randusari di sisinya yang lain lagi. Atau Wisma Perdamaian yang menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Tengah. Sayang, semuanya hanya dapat dinikmati sekilas saat melintasi lampu merah Tugu Muda. Museum lebih banyak tutup, atau mengesankan tutup dan sepi. Wisma Perdamaian? Ah, tampaknya tak dibuka untuk umum, kecuali saya menjadi tamu gubernur. Lawang Sewu? Mau melihat apa, karena tampaknya di dalam gedung sebesar itu tak ada isinya. Gereja Katedral Randusari? Saya tak ingin menjadikan tempat ibadah sebagai ‘obyek wisata’ dengan berpotret-potret dan senda gurau. Jadi, cukup mengintip selintasan kejap dari jendela bus kota—meskipun pengin juga seperti Arbain Rambey mengabadikan kawasan Tugu Muda melalui lensa kameranya dari jendela pesawat.

 
 
 
 
 
 
 

25.5.10

review Bangunan Kuno Semarang

Gedung MARBA- kota lama Semarang

Sebuah Harian Lokal - Seputar Semarang, akhirnya menaruh perhatian pada Gedung Kuno, seperti apa yang Dilakukan Surabaya.
Selain membuka laman di FB mereka juga membuka alamat di seputarsemarang.com.
Terdapat 23 bangunan kuno yang ditampilkan, lengkap dengan gambar dan ulasannnya,  usaha yang bagus- perlu ditambah koleksinya seperti di web Pemkot Semarang yang terus diupdate datanya, namun tidak tampilannya.
Gedung Marabunta - jl.Cendrawasih- kotalama Semarang

18.3.10

More Pictures from West Indies

 Pulau St. Martin

Bagian dari wilayah Karibia, Antilles, dimana  wilayahnya dikelola oleh Belanda dan Prancis, dimana semuanya  dipergunakan untuk pariwisata, Penerbangan Internasional dari Eropa langsung menuju bandara setempat

  






Bangunan peninggalan kolonial yang masih ada dimanfaatkan sebagai daya tarik pariwisata, bentuk-bentuk ornamen bangunan tropis masih dipertahankan, kecuali beberapa yang memang diadopsi dari masa pertengahan Eropah, yang didominasi model benteng / kastil Victorian. Gedung peninggalan kolonial didominasi bangunan gereja.
Aksen tropis seperti batu alam pada dinding dan dinding kayu yang dipasang berlapis memperkaya tampilan bangunan.Yang unik tentu saja gedung pengadilan yang di atas atapnya ada Nanas - produk domestik karibia. Daya tarik yang lain adalah pendeknya landasan udara memaksa Boeing Jumbo Jet untuk mendarat sedekat mungkin dengan pantai, mirip dengan di Kuta- Bali.

The Island
The smallest island in the world ever to have been partitioned between two different nations, St. Martin/St. Maarten has been shared by the French and the Dutch in a spirit of neighborly cooperation and mutual friendship for almost 350 years.
The border is almost imperceptible. and people cross back and forth without ever realizing they are entering a new country. There are four boundries, Belle Vue / Cole Bay, French Quarter / Dutch Quarter, Low Lands / Copecoy and Oyster Pond, testifying to centuries of peaceful cohabitation and the treaty that made the arrangement possible.
All the same, each side has managed to retain much of the distinctiveness of its own national culture. The French tend to emphasize comfort and elegance. The beaches are secluded, the luxury resorts provide lavish accommodations, and the restaurants offer the finest dining experiences anywhere in the Caribbean. The latest French fashions can be found in many of the shops, and the smell of fresh croissants and pastries mixes everywhere with the spicy aromas of West Indian cooking. Small cafés and charming bistros add a decidedly Gaelic and cosmopolitan flair to the place. On the whole the atmosphere remains very relaxed.
On the other hand, St. Maarten with its busy cruise port and bustling commercial district, has long been an active center for trade and tourism. More developed and at the same time more informal, it is very Dutch in flavor and still has strong ties with fellow compatriots in the other Netherlands Antilles. Between the two different cultures in St. Martin and St. Maarten, vacationers will be able to find just about every kind of activity they might want for a perfect holiday in the sun.
Located midway through the chain of islands in the Caribbean, just as the Antilles begin to curve to the south, St. Martin is sunny and warm year-round, averaging 82 degrees Fahrenheit in summer and just 2 degrees cooler in winter. The island is buffeted by cooling trade winds that keep things temperate all year long. Average annual rainfall comes to about 45 inches, most of which occurs around late summer and early fall. ( from official sites St. Marteeen homepage)

18.2.10

Mozaik Benteng Vredeburg I - medio 2009

sisi dalam benteng



tangga pos penjagaan















teras luar bangunan utara benteng

1.1.10

sudut kota lama Soerabaja

Missunderstanding

pic belong to prabowowyp.blogspot.com

Saya selalu keliru menyebut Bangunan Cagar Budaya ( BCB ) dengan Benda Cagar budaya. padahal jelas-jelas BCB adalah definisi sebagai bentuk bangunan - bukan benda; seperti saya selalu keliru menyebut.

Bangunan cagar budaya - Buildings of cultural property - , terdapat di setiap kota di dunia. Dan bangunan ini menjadi warisan setiap kota. makin tua sebuah kota - maka semakin peliklah urusan perawatan BCB ini.
Kota Venice - misalnya - yang dibangun bersentuhan dengan air, - jika kita melihat film james bond "Quantum Solace" terdapat adegan dimana salah satu bangunan yang disangga dengan penampang tabung karet berisi udara. Bisa dibayangkan, teknologi yang dipergunakan pastilah tingkat tinggi jika bukan dikatakan canggih.

jika boleh saya memberikan asumsi, bangsa yang semakin beradab, akan semakin memperhatikan keberadaan BCB di kota-kota wilayah mereka. kemarin ( 31/12/09) saya menemukan satu lagi bangunan kayu kuno di tengah2 kota lama Semarang terbakar....!! adanya police line disana, entah mengindikasikan apa, - saya miris, dan belum berupaya mencari tahu- namun inilah contoh betapa kita masih abai.

suara merdeka

dengan tulisan ini kesalahan sebut BCB sebagai Benda cagar Budaya, saya ralat....:D

Yang Unik dari Kota Lama Soerabaja

Bangunan di gang prenjak ini memiliki teras yang masih memakai ubin kuno, meskipun hanya selebar satu meter. Satu hal lagi - gang di Kota Lama Surabaja - mengingatkan pada gang2 di kampoeng Kauman di Djokdjakarta, sempit- hanya bisa berpapasan dua sepeda, jadi kebanyakan rumah disana tidak mempunyai halaman.


Masih di gang sama, sebuah bangunan diberi aksen biru pada pintu dan pagar, menjadikannya sangat menarik perhatian. Lihat jarak antara bangunan dan gang hanya setengah meter sampai satu meter.


Bangunan ini terletak di jl. Rajawali, di depan BNI Jembatan Merah, meskipun jelas warna dan tandanya sebagai advertensi, - agak ngejreng buat bangunan kuno- , tapi unik.

The only one - gotham's city building ornaments karya BERLAGE





Bangunan ini bernama semula bernama ALGEMEENE MAATSCHAPPIJ VAN LEVENSVERZEKERING EN LIJFRENTE dibangun tahun 1901 oleh seorang Arsitek Belanda ; kelahiran Amsterdam bernama Hendrik Petrus Berlage. Beberapa pencinta bangunan kuno di Multiply membicarakannya, membahas ornamen singa bersayap yang ada di sisi pintu masuknya- sesuatu yang membuat bangunan itu jadi sangat unik, tiada padanannya.


this only pic belong to mahandisyoanata.multiply.com

Sebuah kartupos kuno yang diposting seorang Blogger, Priyambodo P. malah dengan jelas memetakan posisi gedung " De Algemenee" di masanya, lengkap dengan keterangannya.

mozaik IKON kota lama soerabaja

gedung ex markas kompeni (atas)


Pabriek Limoen jl.mliwis


Gudang bahan Kimia/minuman keras - jl.Rajawali


Gedung Crutu - bird view


gedung markas kompeni dari arah lobby