Artikel Di bawah ini adalah sepenuhnya Milik pengelola http://sobokartti.wordpress.com
Herman Thomas Karsten adalah tokoh yang berperan besar dalam perencanaan kota dan arsitektur di Indonesia. Ia memulai karirnya di Indonesia sebagai penasehat perencanaan di kota Semarang. Kemudian ia menjadi penasehat perencanaan kota Jakarta, Bandung, Magelang, Malang, Bogor, Madiun Cirebon, Jatinegara, Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Palembang, Padang, Medan dan Banjarmasin. Sebagai arsitek, karya-karyanya tersebar di berbagai kota.
Rancangan awal gedung kesenian (volkstheater) Sobokarrti. Dalam pelaksanaannya agak berbeda.
Salah satunya adalah Gedung Sobokartti di Jalan Dr Cipto 31-33 Semarang. Dalam rancangannya untuk gedung ini Karsten berhasil memadukan konsep pertunjukan Jawa yang biasa digelar di pendopo dengan konsep gedung teater Barat. Selain bangunan itu, karya Thomas Karsten di Semarang antara lain Pasar Johar, Kantor Asuransi Jiwasraya, Kantor PT Kereta Api Daop 4 dan rancangan permukiman Candi Baru dan Mlaten. Di Yogyakarta ia antara lain merancang Museum Sono Budoyo, sedang di Surakarta selain Pasar Gede juga beberapa bagian Pura Mangkunegaran. Dalam setiap karyanya penghawaan dan pencahayaan alam selalu diperhitungkan dengan cermat demi kenyamanan pengguna. Karsten juga diakui mampu memadukan unsur-unsur Indonesia dan Barat secara harmonis dalam rancangannya.
Yang tidak banyak diketahui orang adalah kepedulian Karsten terhadap isu-isu sosial dan politik yang berkembang di masanya. Padahal, menurut Simon Karsten, anak laki-laki Thomas Karsten, untuk memahami karya-karya ayahnya ada dua hal yang harus difahami: kecintaan Karsten pada kebudayaan Indonesia dan kecintaannya pada pada istrinya.
Karsten mengakui bahwa kebudayaan Barat membawa kemajuan, tapi dalam pandangannya kebudayaan Barat sedang merosot. Kebudayan Timur, dan khususnya Indonesia, dengan spiritualisme dan ikatan sosialnya bisa menyelamatkan Barat dari kemerosotannya itu. Menurutnya, unsur-unsur terbaik Timur dan Barat bisa digabungkan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi serta membawa kemajuan bagi keduanya. Karsten mempunyai visi tentang Indonesia pasca penjajahan, suatu Indonesia di mana Timur dan Barat hidup bersama dan sederajat dalam masyarakat yang harmonis.
Amsterdam dan Semarang
Karsten berasal dari keluarga terpelajar yang mapan. Ayahnya pengajar filsafat dan rektor sebuah hoogeschool. Dalam lingkungan keluarga inilah Karsten mulai mengenal gagasan-gagasan progresif. Sejak muda Karsten telah menunjukkan perhatiannya yang besar pada isu-isu sosial di Belanda. Pilihannya untuk belajar di fakultas bouwkunde di Technische Hogeschool di Delft adalah salah satu bukti tentang kesadaran sosialnya itu. Fakultas yang baru didirikan itu menjadi tempat belajar orang-orang muda yang mempunyai keinginan memperbaiki kondisi sosial masyarakat.
Setelah lulus Karsten bergabung dengan Sociaal Technische Vereeneging, kelompok profesional muda yang progresif. Pada 1904 ia terlibat dalam proyek pembangunan rumah rakyat di Amsterdam, Volkshuisvesting in de Nieuwe Stad te Amsterdam. Amsterdam ketika itu adalah satu-satunya kota industri di Belanda. Di kota itu terdapat kesenjangan sosial, ekonomi, dan etnis yang parah. Di kota ini pula berkumpul para tokoh-tokoh pemikir radikal Belanda. Diprakarsai walikota Amsterdam yang sosialis, proyek besar ini bertujuan menyediakan perumahan layak di kawasan Amsterdam Selatan. Di daerah kumuh ini tinggal buruh pendatang dan masyarakat Yahudi miskin. Proyek inilah yang membentuk pandangan-pandangan idealistis dan ideologis Karsten selanjutnya.
Atas undangan Henri Maclaine-Pont temannya semasa kuliah di Delft Karsten datang ke Semarang pada 1914. Semarang di masa itu adalah kota yang unik. Dibandingkan kota-kota lain, para pejabat di Semarang mempunyai wawasan yang lebih luas. Selain itu terdapat komunitas Tionghoa yang sangat kaya dan berpengaruh serta kelas menengah pribumi berpendidikan Barat yang aktif. Di sisi lain terdapat masyarakat Indo dan Jawa kelas bawah yang miskin. Meski menghadapi berbagai persoalan kota, kehidupan intelektual di Semarang ketika itu sangat bergairah. Suratkabar yang sangat berpengaruh di Hindia Belanda, “De Locomotief”, terbit di Semarang. Semarang di awal abad 20 itu adalah tempat subur bagi munculnya gerakan-gerakan progresif dan radikal, seperti halnya Amsterdam yang baru ditinggalkan Karsten. Di Semarang Karsten menemukan tempat yang sesuai untuk merealisasikan gagasan-gagasannya di bidang perumahan rakyat dan perencanaan kota.
Melalui perencanaan kota Karsten berupaya untuk menyatukan masyarakat kolonial, untuk memberikan kesempatan pada semua penduduk tanpa melihat latarbelakang etnis mereka menikmati lingkungan sosial dan budaya yang sama, sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial masing-masing. Menurutnya dalam masyarakat Indonesia modern bukan faktot etnis tapi faktor sosial-ekonomi yang menjadi penentu. Suatu lingkungan yang terencana akan memungkinkan penduduk hidup bersama membangun suatu masyarakat multi-kultural.
Setelah kariernya yang panjang sebagai konsultan untuk berbagai kota di Indonesia ide-ide Karsten mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial di Batavia. Ia diangkat menjadi anggota komisi reformasi perkotaan (Bouwbeperkingscommisie (1930) yang pada 1934 berubah menjadi Stadsvormingscommissie). Tapi meski telah mendapatkan pengakuan pemerintah, usulan pengangkatan Karsten sebagai profesor di Technische Hoogeschool di Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) ditolak. Karsten dianggap terlalu radikal dan terlalu kritis.
Ironisnya justru di kalangan nasionalis radikal Karsten dianggap terlalu kooperatif terhadap pemerintah. Visi Karsten tentang ‘asosiasi’ dan ‘fusi’ sosial, budaya, dan politik tidak mempunyai tempat dalam Indonesia Merdeka yang diperjuangkan kaum nasionalis revolusioner. Sementara menurut Karsten kemerdekaan Indonesia tidak perlu dicapai dengan revolusi, tapi dengan emansipasi rakyat melalui pendidikan.
Pangeran Mangkunegoro VII dan Soembinah
Karsten banyak berhubungan dengan para intelektual Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Pangeran Mangkunegoro VII, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Selama lebih dari tiga puluh tahun Karsten mengadakan hubungan surat menyurat dengan Mangkunegoro VII. Di antara Mangkunegoro VII dan Karsten terjalin persahabatan yang didasari rasa saling hormat. Keduanya disatukan oleh kepedulian pada kebudayaan Jawa. Karsten melihat sosok Mangkunegoro VII sebagai model priyayi Jawa modern.
Mangkunegoro VII ketika masih bernama Raden Mas Soerio Soeparto tinggal lama di Belanda. Ia belajar bahasa di Universitas Leiden dan bertugas pada Haagsche Grenadier (pasukan elit pengawal ratu). Sebagai Mangkunegoro VII, ia dan permaisurinya Ratu Timur hadir pada pernikahan Putri Juliana dan menyajikan tari Srimpi Pandelori yang dibawakan anak mereka, Gusti Nurul. Tarian kraton itu adalah hadiah perkawinan sekaligus secara sangat halus menunjukkan kebanggaan Mangkunegoro VII pada kebudayaan Jawa.
Perkawinan Karsten pada 1921 dengan Soembinah, seorang perempuan pribumi semakin memperkuat ikatan Karsten dengan Indonesia. Pengertian pribumi disini adalah dari sudut pandang hukum kolonial. Soembinah adalah cucu Heinrich Wieland, mantan tentara Swiss yang menetap di Wonosobo dan menikah dengan seorang perempuan Jawa. Dari perkawinan itu lahir sembilan anak, salah satunya Antje yang menikah dengan Mangunredjo, lurah di Dieng. Karena perkawinan itu status Antje berubah menjadi inlander. Dengan sendirinya anak-anak hasil perkawinan antara Mangunredjo dan Antje Wieland, di antaranya Soembinah, juga berstatus pribumi.
Pada masa itu sudah jarang laki-laki Belanda totok beristeri perempuan pribumi, meskipun di masa sebelumnya banyak yang mempunyai gundik atau nyai pribumi. Tapi seorang nyai tidak pernah muncul di depan umum. Sebaliknya Soembinah belajar bahasa Belanda dan aktif dalam kegiatan-kegiatan di kalangan perempuan Eropa. Ia menemani Karsten dalam perjalannya ke Eropa pada 1930. Besarnya peran Soembinah dalam kehidupannya diakui Karsten.
Karsten dan Soembinah mempunyai empat orang anak, salah satunya Simon yang mengikuti jejak ayahnya menjadi arsitek. Bahasa sehari-hari yang dipakai oleh keluarga Karsten adalah bahasa Belanda dan gaya hidup mereka pada dasarnya gaya hidup Eropa, Namun, di rumah mereka terdapat seperangkat gamelan yang rutin dimainkan. Pada hari-hari penting keluarga Karsten juga mengadakan slametan seperti layaknya keluarga Jawa.
Buku Harian
Pada 1930 Karsten mulai mencatat gagasan-gagasannya dalam buku harian. Dalam keadaan sakit dalam tahanan Jepang di Cimahi ia masih mengisi buku hariannya itu. Dalam bukunya itu Karsten mencatat pemikiran-pemikiran para filsuf Eropa, perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, komunisme di Rusia dan fasisme di Eropa. Ia juga menuliskan pandangannya tentang agama-agama dan filsafat Timur.
Catatan terakhir Karsten ditulis pada 21 April 1945, hanya sesaat sebelum ia meninggal. Karena sudah terlalu lemah dan tidak mampu menulis, ia meminta bantuan dokternya yang juga sesama tahanan untuk mencatat kata-kata terakhirnya: “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah ….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar