Penumpang Kereta api yang singgah di statsiun tawang- Semarang pasti tidak asing dengan Denting piano, yang memainkan ”Empat Penari” itu, di telinga awam sebenarnya terdengar kaku, dengan tempo lambat. Namun mungkin karena diperdengarkan berulang kali, akhirnya menimbulkan kesan yang mendalam.
Sedalam itu pula kesan yang dapat ditimbulkan bila Anda nongkrong di tepi Polder Tawang memandang ke utara ke bangunan Stasiun Tawang. Terlebih, stasiun ini tampil anggun dengan atap kubah tinggi sebagai titik pandang (point of view).
Sedalam itu pula kesan yang dapat ditimbulkan bila Anda nongkrong di tepi Polder Tawang memandang ke utara ke bangunan Stasiun Tawang. Terlebih, stasiun ini tampil anggun dengan atap kubah tinggi sebagai titik pandang (point of view).
Jangan hanya memandangi kubah dari luar. Dari dalam bangunan stasiun, saat menengadah, Anda bakal melihat langit- langit persegi dengan pencahayaan sangat memukau. Sementara ornamen paling menonjol di stasiun ini adalah pintu-pintu utama serta jendela ventilasi atas yang berbentuk lengkung dan dipertegas oleh bingkai pasangan batu bata di tepi atasnya.
Diarsiteki oleh Sloth Blauwboer dan dibangun atas pesanan perusahaan kereta Netherland Indische Spoorweg (NIS), Tawang memang dibangun dengan sangat serius berlanggamkan Romantisisme—yang waktu itu sedang ngetop di Eropa.
Mengapa romantisisme? Sebab, pada tahun-tahun itu, tepatnya Juni 1914, Tawang dipersiapkan sebagai monumen untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol (Tentoonstelling).
Merayakan kemerdekaan di tanah jajahan dengan mendirikan stasiun megah. Itulah ironi Hindia Belanda. Meski begitu, kita patut bersyukur saat ini karena stasiun ini menjadi tempat berkumandangnya ”Empat Penari” puluhan kali dalam sehari. Toh, Republik ini bahkan tak mampu untuk membangun stasiun baru di tempat lain semonumental Tawang.
Bila Anda tidak terburu-buru mengejar kereta api, disarankan untuk berkeliling dahulu menikmati bangunan peninggalan zaman kolonial di Kota Semarang. Ada Gereja Blenduk yang didirikan tahun 1753, Gedung Marba (dulunya bernama Gedung De Heeren Straat), dan Gedung Jiwasraya, yang dirancang oleh Thomas Karsten, arsitek Stasiun Solo Balapan.
Jika tidak ingin pergi terlalu jauh dari stasiun, ya itu tadi, Anda dapat menikmati indahnya bangunan kuno di pinggir Polder Tawang.
Bila senja dan malam tiba, bangunan-bangunan tua itu berefleksi dengan indahnya di muka air polder, yang berfungsi mengendalikan banjir Semarang.
Dan ketika ”Empat Penari” mulai mengalun, bergegaslah masuk ke stasiun. Mungkin giliran kereta Anda yang siap berangkat.( HERPIN DEWANTO-travelkompas.com)