27.6.09

DE JA VU......lagi lagi

Saat melewati tembok di sebelah ini, mataku tak habis-habisnya meperhatikan sudut-sudutnya.

Dimana........ya

aku pernah melihat tembok ginian......


di Pinggiran Jebres Solo.....?

Di Kali code, Jetis.................?

atau deket Pasar Bogor.......?

* Scanning mode on *

Bangunan bersejarah di Semarang

Link Bangunan Bersejarah di Semarang pada web resmi Pemkot Semarang, daftarnya terlihat semakin panjang dari tahun ke tahun. Namun definisi bangunan bersejarah itu sendiri terlihat rancu, yang seperti apa. Sebaiknya sedikit kata pengantar akan lebih manis ....mungkin.

Bangunan yang didaftar di situ antara lain bangunan publik : Gereja, Kantor, Klenteng dan rumah kediaman. Status bangunan belum disebutkan, apakah sudah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya ( BCB ) atau bukan. Namun minimal sebagai daftar tujuan informasi ini sudah sangat membantu, upaya Pemkot Semarang perlu diapresiasi. Alangkah lebih bagus lagi bila dilengkapi dengan tampilan bangunan. Ulasannya, pada beberapa bangunan sangat mendetail dan teknis, mampu menggambarkan dengan lengkap, atau memang sengaja buat ngirit gambar , pak? ah, itu pikiran cabul saya saja.

Televisi lokal Semarang sudah mengangkat keberadaan bangunan lama di Kota Lama semarang - Little Amsterdam dalam liputan khusus rutin. Bersama BPK2L melakukan eksplorasi bangunan bangunan di Kota Lama semarang.


Di bawah ini sedikit dari beberapa bangunan kolonial tropis yang masih tersisa di Semarang:

Bangunan Kantor : Restoran : ( update data : januari 2012, bangunan resto ini kelihatannya sudah dirobohkan. ..hmmm )

Rumah Kediaman :

22.6.09

Macam-macam motif ubin antik






Kemewahan ornamen Bangunan Kolonial Tropis - 3 ( ubin klasik )









Kemewahan ( Lain) ornamen Bangunan Kolonial Tropis -2

Kemewahan lain pada bangunan Kolonial Tropis adalah ubin bercorak. Peletakan ubin bercorak biasanya disesuaikan pemakaian bangunan.
Bangunan yang akan digunakan penguasa wilayah pada masanya, maka " sekujur" ubin dalam bangunan itu NISCAYA akan bercorak semata-mata ( kecuali istana lho).
Istana Bogor,Istana Negara,Gedung Agung tentu saja akan mempergunakan marmer italy. Pemakaian ubin bercorak lebih banyak dipakai di kota -kota kecil, dan tentu saja masa itu Pemasok ubin seperti itu hanya dan HANYA Pabriek Oebin Tjap Koentji.
Pabrik Ubin Kuntji mungkin menguasai penjualan di Jawa dan Sumatera pada masa itu. Selain di djokdja, pabriknya juga terdapat di Semarang.

Kemewahan ubin bercorak pada masa itu akhirnya bukan hanya digunakan di bangunan2 peninggalan Belanda. Di Lasem, bangunan milik bangsawan Tionghwa dan klenteng Tjoe An Kiong, juga memakai ubin bercorak buatan Pabriek Oebin Koentji.

Peletakan ubin bercorak pad umumnya dipergunakan di ruang tamu sebagai ornamen utama, bila pemilik rumah tidak memakai karpet. Motif flora, simetris, tiongkok,dan bertekstur(timbul) merupakan motif idaman pada masa itu, terutama motif bertekstur.

Apa pula gaya bangunan kolonial tropis itu?

Arsitek lebih jamak memakai istilah Arsitektur Indies, gaya bangunan kolonial, namun saya sengaja menyimpang dengan memberi nama "semau saya"...... gaya bangunan Kolonial Tropis.
Beda dengan gaya bangunan eropah masa th 1930'an yang cenderung ke aliran Gothik, yunani, atau Art deco, menurut saya...ini menurut saya lo ya....gaya Kolonial Tropis lebih fungsional karena memaksimalkan perputaran udara dalam ruangan. Berhubung saya bukan arsitek, saya akan terima saja kritik apapun disini......:)........karena saya memang ingin menamakan aliran yang ditinggalkan Thomas Karsten ini seperti itu.
pertanyaan besarnya , apakah Thomas Karsten Himself pernah khusus membahas masalah ini...?

pe'er lagi nih.........

20.6.09

Jakarta Sudah, Surabaya menyusul, kota lain Kapan..?

Jakarta telah memiliki JAKARTA HERITAGE TRAIL ; yaitu suatu paket wisata sejarah gedung2 kuno di jakarta, dengan dukungan sponsor dan komunitas
(komunitashistoria.blogspot.com) para pemerhati sejarah bangunan Kolonial Tropis dapat menikmati keindahan dan kemewahan Peninggalan kolonial - yang tentu saja milik Indonesia.
Sejak awal Juni 2009, Surabaya menyusul dengan SURABAYA HERITAGE TRACKER ; paket wisata sejarah gedung Kolonial Tropis di Surabaya, dengan menggunakan bis wisata khusus yang dibangun mirip Trem jaman Belanda.


JAKARTA HERITAGE TRAIL:

komunitashitoria@yahoo.groups.com

BLOG : //komunitashistoria.blogspot.com




SURABAYA HERITAGE TRACKER:

Tur SHT dapat dinikmati mulai Selasa (9/6 2009). Dalam sehari bus SHT akan berkeliling Surabaya 3 kali, dari pukul 09.00-17.00 wib. Pada hari Selasa-Kamis, bus SHT akan berkeliling dengan rute pendek selama 1 jam dari HoS-Tugu Pahlawan-HoS.Berangkat dari Cafe Sampurna.

Sedangkan pada hari Jum’at-Minggu, bis SHt akan berkeliling dengan rute panjang selama 1,5 jam dari HoS-Taman Surya-HoS. Tur ini bisa dinikmati secara cuma-cuma bagi pengunjung HoS. Pemesanan tiket dapat dilakukan di Tracker Information Center SHT (TIC) di nomor 031-3539000. Informasi ini dapat anda baca selengkapnya pada Blog Mas EKO , seorang pencinta bangunan kuno di Surabaya.




Jasa seorang THOMAS KARSTEN untuk Sejarah Bangunan - Bangunan di Indonesia

Artikel Di bawah ini adalah sepenuhnya Milik pengelola http://sobokartti.wordpress.com

Herman Thomas Karsten adalah tokoh yang berperan besar dalam perencanaan kota dan arsitektur di Indonesia. Ia memulai karirnya di Indonesia sebagai penasehat perencanaan di kota Semarang. Kemudian ia menjadi penasehat perencanaan kota Jakarta, Bandung, Magelang, Malang, Bogor, Madiun Cirebon, Jatinegara, Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Palembang, Padang, Medan dan Banjarmasin. Sebagai arsitek, karya-karyanya tersebar di berbagai kota.

Rancangan awal Karsten untuk volkstheater, dalam pelaksanaannya Gedung Sobokartti lebih kecil.

Rancangan awal gedung kesenian (volkstheater) Sobokarrti. Dalam pelaksanaannya agak berbeda.

Salah satunya adalah Gedung Sobokartti di Jalan Dr Cipto 31-33 Semarang. Dalam rancangannya untuk gedung ini Karsten berhasil memadukan konsep pertunjukan Jawa yang biasa digelar di pendopo dengan konsep gedung teater Barat. Selain bangunan itu, karya Thomas Karsten di Semarang antara lain Pasar Johar, Kantor Asuransi Jiwasraya, Kantor PT Kereta Api Daop 4 dan rancangan permukiman Candi Baru dan Mlaten. Di Yogyakarta ia antara lain merancang Museum Sono Budoyo, sedang di Surakarta selain Pasar Gede juga beberapa bagian Pura Mangkunegaran. Dalam setiap karyanya penghawaan dan pencahayaan alam selalu diperhitungkan dengan cermat demi kenyamanan pengguna. Karsten juga diakui mampu memadukan unsur-unsur Indonesia dan Barat secara harmonis dalam rancangannya.

Yang tidak banyak diketahui orang adalah kepedulian Karsten terhadap isu-isu sosial dan politik yang berkembang di masanya. Padahal, menurut Simon Karsten, anak laki-laki Thomas Karsten, untuk memahami karya-karya ayahnya ada dua hal yang harus difahami: kecintaan Karsten pada kebudayaan Indonesia dan kecintaannya pada pada istrinya.

Karsten mengakui bahwa kebudayaan Barat membawa kemajuan, tapi dalam pandangannya kebudayaan Barat sedang merosot. Kebudayan Timur, dan khususnya Indonesia, dengan spiritualisme dan ikatan sosialnya bisa menyelamatkan Barat dari kemerosotannya itu. Menurutnya, unsur-unsur terbaik Timur dan Barat bisa digabungkan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi serta membawa kemajuan bagi keduanya. Karsten mempunyai visi tentang Indonesia pasca penjajahan, suatu Indonesia di mana Timur dan Barat hidup bersama dan sederajat dalam masyarakat yang harmonis.

Amsterdam dan Semarang

Karsten berasal dari keluarga terpelajar yang mapan. Ayahnya pengajar filsafat dan rektor sebuah hoogeschool. Dalam lingkungan keluarga inilah Karsten mulai mengenal gagasan-gagasan progresif. Sejak muda Karsten telah menunjukkan perhatiannya yang besar pada isu-isu sosial di Belanda. Pilihannya untuk belajar di fakultas bouwkunde di Technische Hogeschool di Delft adalah salah satu bukti tentang kesadaran sosialnya itu. Fakultas yang baru didirikan itu menjadi tempat belajar orang-orang muda yang mempunyai keinginan memperbaiki kondisi sosial masyarakat.

Setelah lulus Karsten bergabung dengan Sociaal Technische Vereeneging, kelompok profesional muda yang progresif. Pada 1904 ia terlibat dalam proyek pembangunan rumah rakyat di Amsterdam, Volkshuisvesting in de Nieuwe Stad te Amsterdam. Amsterdam ketika itu adalah satu-satunya kota industri di Belanda. Di kota itu terdapat kesenjangan sosial, ekonomi, dan etnis yang parah. Di kota ini pula berkumpul para tokoh-tokoh pemikir radikal Belanda. Diprakarsai walikota Amsterdam yang sosialis, proyek besar ini bertujuan menyediakan perumahan layak di kawasan Amsterdam Selatan. Di daerah kumuh ini tinggal buruh pendatang dan masyarakat Yahudi miskin. Proyek inilah yang membentuk pandangan-pandangan idealistis dan ideologis Karsten selanjutnya.

Atas undangan Henri Maclaine-Pont temannya semasa kuliah di Delft Karsten datang ke Semarang pada 1914. Semarang di masa itu adalah kota yang unik. Dibandingkan kota-kota lain, para pejabat di Semarang mempunyai wawasan yang lebih luas. Selain itu terdapat komunitas Tionghoa yang sangat kaya dan berpengaruh serta kelas menengah pribumi berpendidikan Barat yang aktif. Di sisi lain terdapat masyarakat Indo dan Jawa kelas bawah yang miskin. Meski menghadapi berbagai persoalan kota, kehidupan intelektual di Semarang ketika itu sangat bergairah. Suratkabar yang sangat berpengaruh di Hindia Belanda, “De Locomotief”, terbit di Semarang. Semarang di awal abad 20 itu adalah tempat subur bagi munculnya gerakan-gerakan progresif dan radikal, seperti halnya Amsterdam yang baru ditinggalkan Karsten. Di Semarang Karsten menemukan tempat yang sesuai untuk merealisasikan gagasan-gagasannya di bidang perumahan rakyat dan perencanaan kota.

Melalui perencanaan kota Karsten berupaya untuk menyatukan masyarakat kolonial, untuk memberikan kesempatan pada semua penduduk tanpa melihat latarbelakang etnis mereka menikmati lingkungan sosial dan budaya yang sama, sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial masing-masing. Menurutnya dalam masyarakat Indonesia modern bukan faktot etnis tapi faktor sosial-ekonomi yang menjadi penentu. Suatu lingkungan yang terencana akan memungkinkan penduduk hidup bersama membangun suatu masyarakat multi-kultural.

Setelah kariernya yang panjang sebagai konsultan untuk berbagai kota di Indonesia ide-ide Karsten mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial di Batavia. Ia diangkat menjadi anggota komisi reformasi perkotaan (Bouwbeperkingscommisie (1930) yang pada 1934 berubah menjadi Stadsvormingscommissie). Tapi meski telah mendapatkan pengakuan pemerintah, usulan pengangkatan Karsten sebagai profesor di Technische Hoogeschool di Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) ditolak. Karsten dianggap terlalu radikal dan terlalu kritis.

Ironisnya justru di kalangan nasionalis radikal Karsten dianggap terlalu kooperatif terhadap pemerintah. Visi Karsten tentang ‘asosiasi’ dan ‘fusi’ sosial, budaya, dan politik tidak mempunyai tempat dalam Indonesia Merdeka yang diperjuangkan kaum nasionalis revolusioner. Sementara menurut Karsten kemerdekaan Indonesia tidak perlu dicapai dengan revolusi, tapi dengan emansipasi rakyat melalui pendidikan.

Pangeran Mangkunegoro VII dan Soembinah

thomas-karsten5

Karsten banyak berhubungan dengan para intelektual Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Pangeran Mangkunegoro VII, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Selama lebih dari tiga puluh tahun Karsten mengadakan hubungan surat menyurat dengan Mangkunegoro VII. Di antara Mangkunegoro VII dan Karsten terjalin persahabatan yang didasari rasa saling hormat. Keduanya disatukan oleh kepedulian pada kebudayaan Jawa. Karsten melihat sosok Mangkunegoro VII sebagai model priyayi Jawa modern.

Mangkunegoro VII ketika masih bernama Raden Mas Soerio Soeparto tinggal lama di Belanda. Ia belajar bahasa di Universitas Leiden dan bertugas pada Haagsche Grenadier (pasukan elit pengawal ratu). Sebagai Mangkunegoro VII, ia dan permaisurinya Ratu Timur hadir pada pernikahan Putri Juliana dan menyajikan tari Srimpi Pandelori yang dibawakan anak mereka, Gusti Nurul. Tarian kraton itu adalah hadiah perkawinan sekaligus secara sangat halus menunjukkan kebanggaan Mangkunegoro VII pada kebudayaan Jawa.

Perkawinan Karsten pada 1921 dengan Soembinah, seorang perempuan pribumi semakin memperkuat ikatan Karsten dengan Indonesia. Pengertian pribumi disini adalah dari sudut pandang hukum kolonial. Soembinah adalah cucu Heinrich Wieland, mantan tentara Swiss yang menetap di Wonosobo dan menikah dengan seorang perempuan Jawa. Dari perkawinan itu lahir sembilan anak, salah satunya Antje yang menikah dengan Mangunredjo, lurah di Dieng. Karena perkawinan itu status Antje berubah menjadi inlander. Dengan sendirinya anak-anak hasil perkawinan antara Mangunredjo dan Antje Wieland, di antaranya Soembinah, juga berstatus pribumi.

Pada masa itu sudah jarang laki-laki Belanda totok beristeri perempuan pribumi, meskipun di masa sebelumnya banyak yang mempunyai gundik atau nyai pribumi. Tapi seorang nyai tidak pernah muncul di depan umum. Sebaliknya Soembinah belajar bahasa Belanda dan aktif dalam kegiatan-kegiatan di kalangan perempuan Eropa. Ia menemani Karsten dalam perjalannya ke Eropa pada 1930. Besarnya peran Soembinah dalam kehidupannya diakui Karsten.

Karsten dan Soembinah mempunyai empat orang anak, salah satunya Simon yang mengikuti jejak ayahnya menjadi arsitek. Bahasa sehari-hari yang dipakai oleh keluarga Karsten adalah bahasa Belanda dan gaya hidup mereka pada dasarnya gaya hidup Eropa, Namun, di rumah mereka terdapat seperangkat gamelan yang rutin dimainkan. Pada hari-hari penting keluarga Karsten juga mengadakan slametan seperti layaknya keluarga Jawa.

Buku Harian

Pada 1930 Karsten mulai mencatat gagasan-gagasannya dalam buku harian. Dalam keadaan sakit dalam tahanan Jepang di Cimahi ia masih mengisi buku hariannya itu. Dalam bukunya itu Karsten mencatat pemikiran-pemikiran para filsuf Eropa, perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, komunisme di Rusia dan fasisme di Eropa. Ia juga menuliskan pandangannya tentang agama-agama dan filsafat Timur.

Catatan terakhir Karsten ditulis pada 21 April 1945, hanya sesaat sebelum ia meninggal. Karena sudah terlalu lemah dan tidak mampu menulis, ia meminta bantuan dokternya yang juga sesama tahanan untuk mencatat kata-kata terakhirnya: “Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah ….”

Macam - macam bentuk Jendela Bangunan Kolonial Tropis













Fungsi jendela rumah Kolonial tropis

Gedung BNI -Djokdja tahun 1924

gedung PELNI - Semarang sekarang

Jumlah jendela yang "berlebih" dan menguasai hampir semua tempat pada rancangan rumah-rumah kolonial tropis , tidak lepas dari fungsi utamanya sebagai penyejuk udara alami.
Pada masa tahun 1930 an , penyejuk udara elektrik - Air Conditioner tentu saja belum dikenal.
maka jamak saja, bangunan publik seperti gedung BNI jogjakarta, Gedung PELNI - di Semarang, gedung Lawang Sewu , dan gedung "Papak" yang sekarang dipakai sebagai kantor DepKeu semarang, atau gedung Sate di Bandung - yang sekarang dipergunakan sebagai kantor pos memiliki banyak jendela

Lawang Sewu - Semarang


Gedung keuangan Negara ( Gedung Papak) Semarang

Gedung Sate - kantor Pos Bandung

Selain jumlah jendela yang banyak, ukurannya pun kadang 'super' jika dibandingkan daun jendela saat ini. Dimensi tinggi daun jendela dapat mencapai dua meter atau lebih, dengan bentuk persegi panjang, dan dipenuhi kisi2 pada sepanjang ukurannya. Namun tentu saja bentuk jendela disesuaikan fungsinya menurut jenis bangunan.

ciri khas jendela rumah Kolonial Tropis


Jendela Bangunan Benteng / Penjara